KASUS dugaan suap dua Pimpinan KPK non-aktif, Chandra
Marta Hamzah dan Bibit Samad Riyanto ternyata berbuntut panjang. Dua media
nasional di Jakarta, Harian Kompas dan Harian SeputarIndonesia (Sindo)
dipanggil oleh pihak Mabes Polri. Pemanggilan ini terkait dengan pemuatan
berita tanggal 4 November 2009 tentang tranksrip rekaman yang sudah diputar di
Mahkamah Konstitusi (MK) 3 November 2009.
Panggilan ini diduga karena Anggodo melaporkan (delik
aduan) kepada pihak kepolisian terkait pencemaran nama baiknya. Rekaman yang
sudah dibuka di persidangan MK seharusnya adalah milik publik dan terbuka untuk
umum. Media berhak untuk memuatnya. Logika Kepolisian memang mencurigakan,
dalam menangani kasus Bibit dan Chandra berpikir cepat, namun menangani Anggodo
berpikir konservatif. Dalam era informasi yang terbuka saat ini masih ada saja
pemanggilan media.
Dalam sistem demokrasi, kedaulatan berada di tangan
rakyat. Rakyatlah yang memilih dan memberhentikan pemimpinnya. Rakyat juga
secara aktif terlibat dalam menyusun berbagai kebijakan publik, sekaligus
mengawasi pelaksaanannya oleh pemerintah. Untuk bisa melaksanakan hak-hak
politiknya itu, rakyat perlu well-informed, perlu mendapatkan
informasi yang benar, jujur dan lengkap mengenai segala permasalahan bangsa dan
negara.
Informasi yang dibutuhkan rakyat, sebagian besar,
berasal dari media massa. Dalam era informasi yang ditandai oleh semakin
canggihnya teknologi informasi, ketergantungan publik atas media massa untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkannya diakui semakin besar. Bukan hanya itu,
pengaruh media terhadap masyarakat pun semakin besar. Untuk itu, pers di sebuah
negara yang menganut sistem demokrasi, mutlak menikmati kebebasan. Kebebasan
pers, bahkan, diakui sebaga salah satu pilar demokrasi.
Dalam UUD 45 (sudah diamandemen sampai ke 4) dalam
pasal 28 dinyatakan:“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang “. Dan
dalam pasal 28 F disebutkan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia .”
Arti Kebebasan Pers
Secara universal, seperti ditulis dalam buku-buku teks
jurnalistik, pers di suatu negara diakui bebas kalau memenuhi persyaratan “3
No”, yaitu tidak ada izin terbit, tidak ada sensor, dan tidak ada bredel.
Ketiga “No” itu mutlak harus dipenuhi sekaligus. Insan pers yang professional
mestinya juga paham bahwa kebebasan pers mempunyai tiga dimensi, yaitu (a) freedom
from, (b) freedom for, dan (c) freedom to.
Setiap insan media harus memperhatikan tiga dimensi
tersebut. Kebebasan pers tidak serta-merta memberikan kebebasan kepada media
untuk, misalnya, mencaci-maki atau memfitnah. Pers di mana-mana juga dilarang
menyebarluaskan kabar bohong yang akibatnya dapat merugikan pihak ketiga.
Kebebasan pers juga harus diartikan sebagai kebebasan masyarakat untuk tidak
dipaparkan informasi yang tidak benar, bias, insinuatif, apalagi destruktif
sifatnya.
Dimensi kedua dan ketiga dari kebebasan pers juga
harus dibingkai dengan konsep keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab
sosial. Kebebasan pers yang dianut Indonesia adalah kebebasan pers
yang bertanggungjawab sosial (social responsibility theory of the press).
Kebebasan pers harus dipergunakan semata-mata untuk kepentingan publik, bangsa
dan negara.
Di dalam pengertian universal kebebasan pers, tidak
ada ketentuan bahwa pers tidak boleh diajukan ke pengadilan. Tidak pernah
dikatakan bahwa pers di suatu negara tidak bebas karena perusahaan pers atau
wartawannya masih sering diseret ke meja hijau dan dijatuhkan hukuman, entah
hukuman badan ataupun hukuman denda. Di negara-negara barat sekali pun,
termasuk Amerika, delik pers terbilang cukup banyak. Vonis kurungan badan untuk
wartawan pun sekali-sekali masih dihadapi oleh pers di barat
Namun dalam konteks pemanggilan dua media yang
dianggap telah mencemarkan nama baik ini sangat aneh. Karena pada tanggal 3
November 2009 transkrip rekaman penyadapan KPK terhadap Anggodo Widjoyo, adik
Direktur PT. Masaro Radiocom Anggoro Widjoyo tersangka kasus korupsi sudah
diputar secara terbuka dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Jika memang media ini
dipermasalahkan, harusnya MK lah yang paling utama untuk dipersalahkan.
Kepolisian hanya berkutat pada kewenangan penyadapan, bukan pada subtansi
permasalahan yang ada.
Kriminalisasi Pers
Ada kecenderungan pihak-pihak yang dirugikan media
ingin memperdatakan pers, jika timbul masalah hukum dengan pers. Berdasarkan
data tahun 2007 saja Dewan Pers masih menerima pengaduan masyarakat rata-rata
20 laporan per bulan atau kira-kira sejumlah 240 – 250 laporan per tahun/pada
umumnya pengaduannya berkaitan dengan pelanggaran kode etik jurnalistik dengan
sanksi ganjarannya dilakukan oleh pihak organisasi wartawan dan atau perusahaan
pers adapun jenis pelanggarannya antara lain: Pencemaran nama baik, tidak
menghormati hak privasi, pembunuhan karakter, penghinaan, fitnah, kabar bohong.
Adapun pasal-pasal KUHP yang sangat mungkin menjadi
kasus pers antara lain adalah: Penghinaan terhadap penguasa / pasal 207 dan 208
KUHP, Penghinaan terhadap perorangan / pasal 321 KUHP, Pencemaran nama baik /
pasal 310 KUHP, Fitnah dengan tulisan / pasal 311 KUHP, Pengancaman terhadap
seseorang / pejabat ( pasal 211 KUHP), dan lainnya.
Kasus yang menimpa seorang wartawan harian “The New
York Times” mungkin sudah kita ketahui bersama. Judith Miller, dalam suatu
tulisannya di “New York Times” mengaku pernah membahas kasus Joseph
Wilson dengan sebuah narasumber di Gedung Putih. Wilson oleh wartawan majalah Time,
Matthew Cooper, dalam edisi 17 Juli 2005 ditulis mempunyai isteri yang bekerja
sebagai agen CIA. Berita ini menggemparkan banyak kalangan di Amerika.
Miller kemudian diminta hakim untuk membuka identitas
narasumbernya yang dikatakan berasal dari Gedung Putih. Ketika ia menolak
permintaan hakim, ia langsung dimasukkan penjara. Kasus Miller, ternyata tidak
membawa heboh di kalangan pers Amerika. Undang-undang di negeri itu memang
melarang siapa pun membuka identitas seseorang yang bekerja sebagai agen
rahasia atau mata-mata. Pelanggaran atas ketentuan hukum ini dikategorikan
sebagai kejahatan serius.
Semangat menolak “kriminalisasi pers” tercermin kuat
sekali dalam Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers. Hal ini bisa dilihat
dari ketentuan pidana UU tersebut. Pasal 18 ayat (1) menghukum siapa pun yang
terbukti menghambat atau menghalangi pelaksanaan kebebasan pers dengan hukuman
denda maksimal Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Begitu juga sanksi
hukum terhadap wartawan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (1):
maksimal Rp 500 juta rupiah (ayat 2).
Sayangnya, Pasal 5 ayat (1) UU tentang Pers hanya
mengatur 3 (tiga) jenis pelanggaran yang (bisa) dilakukan oleh pers, yaitu
pelanggaran terhadap (a) norma agama, (b) norma susila, dan (c) asas praduga
tak bersalah. Lalu, bagaimana jika pers atau wartawan melakukan pelanggaran,
bahkan kejahatan terhadap tindakan-tindakan yang sama sekali tidak diatur dalam
UU No 40 tahun 1999?
Di sini mencul kontroversi tentang Lex Specialis,
yaitu: Apakah UU No 40 tahun 1999 merupakan Lex Specialis atau bukan? Penting
sekali bagi semua pihak untuk mengkaji masalah ini secara jujur dan
komprehensif karena sifatnya yang amat krusial. Jika kita semua sepakat bahwa
UU No 40 tahun 1999 memang Lex Specialis, dengan sendirinya polisi, jaksa
maupun hakim tidak lagi mempunyai alasan untuk tidak menerapkan UU itu setiap
kali mereka menangani kasus pers karena prinsip “Lex specialis derogat legi
generali”.
0 komentar:
Posting Komentar