Pendahuluan
Risang Bima Wijaya, Mantan Pemimpin Umum dan Wartawan
Harian Radar Yogya, telah dijatuhi vonis oleh Mahkamah Agung dalam putusannya
bernomor 1374 K/pid/2005, pada 13 Januari 2006 yang menolak permohonan kasasi
dari Risang Bima Wijaya dan sekaligus menguatkan putusan PT Yogyakarta dengan
nomor 21/Pid/2005/PTY yang menghukum Risang dengan pidana penjara selama 6
bulan karena terbukti melakukan tindak pidana “Menista dengan tulisan, secara
berlanjut” sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP jo Pasal 64 ayat
(1) KUHP.
Putusan yang diterima oleh Risang pada 3 Mei 2007,
saat menghadiri Perayaan Hari Kemerdekaan Pers Internasional di Jakarta,
sungguh mengejutkan masyarakat pers Indonesia, karena pemberitaan mengenai
kasus pelecehan seksual oleh Dr H Soemadi M Wonohito (Direktur Utama Harian
Kedaulatan Rakyat) terhadap karyawannya yang dilakukan oleh Harian Radar Yogya
dianggap bersalah oleh MA. Putusan ini tentu mengejutkan, karena hanya
berselang tiga hari setelah putusan atas Risang diucapkan, MA mengeluarkan
putusan dengan nomor 1608 K/PID/2005 dalam kasus Bambang Harymurti (Majalah
Tempo) yang membebaskan Bambang Harymurti dari dakwaan. Dalam dua putusan
menyangkut pers ini MA telah menunjukkan inkonsistensinya dalam penerapan “unsur
melawan hukum” yang terdapat dalam KUHP.
Pers dan Pencemaran Nama Baik
Meski Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen
hukum yang menjamin kemerdekaan pers. Namun ancaman terhadap kemerdekaan pers
tidak serta merta lenyap. Ancaman tersebut bisa berasal dari pemerintahan yang
korup maupun dari masyarakat yang tak paham peran pers. Yang juga harus
dicermati, beragam ancaman itu justru dilakukan melalui mekanisme hukum yang
sah, seperti lewat proses legislasi di DPR atau melalui pengadilan. Di sisi
lain, mekanisme non hukum dan upaya pembungkaman pers lewat kekerasan terus
terjadi.
Tuntutan dan gugatan hukum terhadap jurnalis dan media
pada umumnya dilakukan dengan menggunakan ketentuan tentang pencemaran nama
baik, baik menggunakan KUHPidana ataupun KUHPerdata.
Dalam sejarahnya, aturan tentang pencemaran nama baik
dipakai untuk melindungi kekuasaan dari kritik atau kontrol masyarakat.
Ketentuan tersebut selanjutnya dipakai untuk mengatur fitnah atau pencemaran
nama baik yang melibatkan individu.
Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia penerapan dan penggunaan ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam
KUHP mempunyai potensi yang tinggi untuk digunakan secara berlebihan dan ini
malah akan menghambat demokrasi, kebebasan berekspresi, kemerdekaan pers, dan hak
masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Penggunaan ketentuan pencemaran
nama baik terutama berkaitan dengan pekerjaan jurnalistik akan menimbulkan
bahaya ketidakpastian hukum karena beerpotensi tinggi akan mempidanakan
jurnalis karena pencemaran nama baik. Ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP
bisa sangat tidak obyektif karena tergantung tafsir yang sepihak dan bisa jadi
tidak berdasar.
Pencemaran nama baik dalam hukum pidana diatur dalam
Bab XVI tentang Penghinaan yang terdiri dari Pasal 310-321
Tabel Tentang Ketentuan Pencemaran
Nama Baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
No
|
Pasal
|
Tindak Pidana
|
1
|
310
|
Pencemaran
|
2
|
311
|
Fitnah
|
3
|
315
|
Penghinaan Ringan
|
4
|
317
|
Pengaduan Fitnah
|
5
|
318
|
Persangkaan Palsu
|
6
|
320
|
Pencemaran Nama Baik Orang Mati
|
7
|
321
|
Pencemaran Nama Baik Orang Mati Dengan Tulisan Atau
Gambar
|
Dalam kasus pidana yang melibatkan pers tentu saja
tidak bisa serta merta pengadilan menggunakan unsur melawan hukum yang terdapat
dalam KUHP. Karena pekerjaan seorang wartawan dilindungi oleh UU No 40 Tahun
1999 tentang Pers. Oleh karena itu, kalaupun ada penggunaan instrumen hukum
pidana maka unsur melawan hukum yang terdapat dalam KUHP harus dihubungkan
dengan UU Pers. Menarik untuk melihat bagaimana MA, dalam kasus Bambang
Harymurti, meletakkan fondasi tentang unsur melawan hukum dalam kasus pers, Menurut
MA unsur melawan hukum tidak terpenuhi manakala:
1.
Pemberitaan telah
Cover Both Side (berimbang)
2.
Pemberitaan telah
berdasarkan atas asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian
3.
Pemberitaan telah
memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik
Dalam kasus pencemaran nama baik yang menimpa Risang,
terlihat jelas bagaimana Pengadilan telah mengabaikan UU Pers sebagai
pengaturan yang mengatur tentang perlindungan terhadap kemerdekaan pers dan
mengatur bagaimana pers beroperasi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
Dalam kasus yang menimpa Risang ini, MA dan pengadilan
dibawahnya setidaknya telah melupakan tiga faktor penting supaya element of crimedari suatu tindak pidana pencemaran nama baik telah
terjadi, diantaranya adalah:
1. Tidak pernah ada sidang Majelis Etik yang menyatakan
bahwa pemberitaan yang ditulis oleh Risang di Harian Radar Yogya telah
melanggar etika profesi
2. Soemadi M. Wonohito juga tidak pernah menggunakan
mekanisme hak jawab, karena jika hak jawab tidak pernah digunakan maka
pemberitaan yang dilakukan oleh pers mengandung kebenaran atau paling tidak
mempunyai nilai estimasi karena sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi
reporting yaitu mencari, menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehinga
paling tidak sudah terpenuhi pemberitaan yang konfirmatif[2].
3. Mekanisme penyelesaian sengketa yang disediakan oleh
UU Pers juga tidak pernah ditempuh oleh Soemadi M Wonohito
Ketiga faktor ini penting dilalui terlebih dahulu
untuk apakah ada malpraktek yang dilakukan wartawan. Berita yang merupakan hasil malpraktek antara lain
bercirikan[3]:
1.
Tidak untuk
kepentingan umum, tetapi misalnya untuk kepentingan pemerasan;
2.
Hasil fabrikasi;
3.
Berintensi malice (itikat buruk), misalnya untuk melampiaskan dendam kepada seseorang
atau instansi tertentu.
Selain itu MA juga telah mengabaikan konsep pemidanaan
yang dikenal dalam UU Pers, UU Pers menyatakan dalam Pasal 18 ayat (2) jo Pasal
5 ayat (1) bahwa pidana yang dapat dikenakan sepanjang mengenai pelanggaran
terhadap asas praduga tidak bersalah adalah pidana denda yang dijatuhkan pada
perusahaan pers dan bukan individu yang melaksanakan kerja jurnalistik
tersebut. Konsep ini diperkenalkan justru untuk mengantikan konsep pemidanaan
yang dikenal dalam KUHP dan tentunya lebih bersahabat dengan pekerjaan jurnalistik
Dalam hal pelanggaran asas praduga tidak bersalah yang
dihubungkan dengan ketentuan pencemaran nama baik yang terdapat dalam KUHP
tentu harus dilihat dari kacamata adakah pelanggaran terhadap etika profesi?
Dan dari titik ini pengadilan tentu tidak bisa dan/atau tidak dapat atau
setidak-tidaknya tidak tepat digunakan sebagai forum untuk menilai ada-tidaknya
pelanggaran etika yang telah dilakukan, karena itu penting untuk menempuh semua
mekanisme penyelesaian sengketa yang telah disediakan oleh UU Pers, untuk
mendapat penilaian adakah berita yang ditulis di Harian Radar Yogya berindikasi
berita malpraktek. Karena penilaian tentang ada tidaknya pelanggaran etika dan
juga ada tidaknya dugaan adanya itikat buruk dalam pemberitaan hanya dapat
dinilai melalui organisasi profesi jurnalis dan/atau Dewan Pers. Wajar jika
kemudian MA dalam kasus Bambang Harymurti berpendapat bahwa penggunaan hak
jawab, kewajiban hak jawab, dan hak koreksi sebagai prosedur yang harus dilalui
sebelum pers diminta pertanggungjawaban hukum dalam hal terjadi adanya dugaan
perbuatan melanggar hukum. Dan ditambahkan lagi bahwa instrumen hak jawab
merupakan keseimbangan antara kemestian pers bebas dan upaya perlindungan
kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru
Kemerdekaan Pers dan Kemerdekaan
Kekuasaan Kehakiman
Prof. Dr. Bagir Manan SH., MCL., Ketua Mahkamah Agung
(MA) RI, pernah mewanti-wanti aparat hukum dan pengadilan
Indonesia pada 14 September 2004. Saat itu Ketua MA menyatakan bahwa
“Saya
minta kehati-hatian hakim yang mengadili pers ataupun pelaku pers, jangan
sampai tangan-tangan hakim ini berlumuran memasung kemerdekaan pers yang akan
mematikan demokrasi dan tidak lain akan memasung kemerdekaan hakim itu sendiri.
Pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi, tetapi sekaligus menjaga
demokrasi itu sendiri. Dan hakim sangat memerlukan demokrasi, sebab hanya
demokrasi yang dapat menjamin kebebasan hakim dan kemerdekaan kekuasaan
kehakiman.”
Pernyataan Ketua MA ini harus dicermati secara baik,
bahwa ada hubungan erat antara negara hukum, kemandirian serta kemerdekaan
kekuasaan kehakiman dan kemerdekaan pers. Dengan kata lain kemandirian serta
kemerdekaan kekuasaan kehakiman dapat terjaga apabila kemerdekaan pers
terjamin. Pernyataan ini sungguh bukan merupakan lips sevice saja dari seorang Ketua MA, tetapi sungguh diwujudkan
dalam putusan menyangkut kasus Bambang Harymurti yang secara tegas menyatakan
bahwa kebebasan pers merupakan conditio
sine qua non bagi terwujudnya
demokrasi dan Negara berdasar atas hukum, maka tindakan hukum yang diambil
terhadap pers yang menyimpang tidak boleh membahayakan sendi-sendi demokrasi
dan negara berdasarkan hukum. Karena itu tindakan penghukuman dalam bentuk
pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan
pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam UU Pers harus
didahulukan daripada ketentuan hukum yang lain
Namun sayang, Majelis Hakim MA yang dipimpin Artidjo
Alkostar, SH, LLM dalam perkara ini malah mempertontonkan secara terbuka dan
memperdengarkan lonceng kematian dari kemerdekaan pers yang sekaligus juga
memperdengarkan lebih keras lonceng kematian dari kemandirian serta kemerdekaan
kekuasaan kehakiman
[3] Banjar
Nakon Brudar, “Wartawan Freelance,” Chalia Indonesia 1994, halaman 227
sebagaimana dikutip dalam makalah Ampuan Situmeang, Pentingnya Dekriminalisasi
Pers Dalam R KUHP, halaman 3
0 komentar:
Posting Komentar